Saya lupa tahun berapa mengetik isi buku tentang M Natsir ini, tapi kalau ga salah diterbitkan oleh Tarbawi dalam edisi khusus, kalo ga salah tentang cinta para pahlawan kepada keluarga dan bangsanya...
MOHAMMAD NATSIR
Menggurat Cinta Dari Hutan Sumatera
Mohammad Natsir memang legenda negeri ini. Kiprahnya telah menempatkan dirinya sebagai salah satu rujukan penting dalam pergerakan Islam moderen di dunia. Tapi siapa nyana di balik berbagai kebesaran yang disematkan padanya, Natsir adalah seorang suami dan sekaligus yang begitu sederhana, santun dan lemah lembut. Paling tidak itulah yang terlihat dari pilihan kata demi kata yang ia torehkan pada berlembar-lembar surat untuk keluarganya, dari hutan-hutan perawan di Sumatera Barat.
“Kumpulan Surat-Surat Pribadi,” begitu judul pendek yang sederhana nampak di tengah selembar kertas putih bersih, tanpa tulisan apa pun lagi. Namun saat beralih ke lembar berikutnya, segera terkuak kalimat demi kalimat yang sarat dengan tekad dan cinta. Kerap kali ia mengawali dengan sapaan hangat, “Ummie, anak-anakku yang kucintai.” Tersisip pula nasehat yang penuh kehati-hatian dengan mengutip hadits atau ayat al-Quran. Itulah salinan kumpulan surat Mohammad Natsir pada istri dan kelima anaknya. Semua telah diketik rapi oleh salah seorang anaknya, dari naskah asli tulisan tangan Natsir yang telah berwarna kekuningan di makan jaman. Salinan surat itu dibuat pada tahun 1980-an. Lebih dari 22 tahun sejak saat surat pertama ditorehkan.
Surat pertama ditulis Natsir pada tanggal 17 juli 1958. beberapa bulan setelah ia memutuskan masuk ke hutan demi hutan di Sumatera Barat, bersama kelompok rakyat yang oleh penguasa dengan gegabah dituduh sebagai pemberontak. Itulah perjalanan menegakkan idealisme, yang dilabelkan pada peristiwa PRRI. Merangkum rentang waktu sejak 17 juli sampai 15 september 1958, ungkapan hati itu ditulis seiring perjuangan Natsir dari dalam hutan, meluaskan gema perjuangan dan menghindari kejaran penguasa. Selepas 15 september, pengiriman surat itu terhenti. Sebab, anak dan istrinya telah menyusul Natsir ke dalam hutan, bersama-sama merajut jalan perjuangan.
Lima puluh helai surat itu terbagi dalam beberapa tanggal pengiriman. Beberapa kali di bulan juli, agustus dan September. Tiap lembarnya kaya akan riwayat hidup Natsir yang ia ceritakan secara rinci, mulai dari masa kanak-kanak hingga jaman Jepang. Natsir bertutur tentang perjuangannya melawan diskriminasi guru Belanda, geloranya membela Islam yang tergambar pada tulisan-tulisannya di Pembela Islam, suka-duka mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis), hingga ditutupnya sekolah legendaris itu oleh penjajah Jepang secara paksa. Rangkaian surat itu adalah yang pertama dan terakhir yang ditulis Natsir untuk keluarganya. Ida masih ingat, lembar demi lembarnya dibaca secara bergantian oleh Ummi dan saudara-saudaranya, termasuk Ida.
“setelah peristiwa itu. Kami relatif berkumpul terus, jadi Aba tidak perlu menulis surat lagi. Tapi hampir saja kami kehilangan surat-surat itu ketika tentara menggeledah, saat kami keluar dari hutan. Syukur Alhamdulillah sewaktu Ummi berkata bahwa surat itu milik pribadi, tentara yang menggeledah akhirnya mengembalikannya pada Ummi,” ujar Asma Faridah, anak kedua Natsir, yang ditemui Tarbawi di rumah dinasnya di kompleks pengajar Pesantren darul Falah, Bogor. Farida pulalah yang meminjamkan kumpulan surat Natsir yang amat berharga itu pada Tarbawi.
“setiap membaca lagi surat-surat ini, selalu ada keharuan. Dalam surat itu Aba memanggil kami ‘sayang’, panggilan yang sehari-hari tidak Aba gunakan. Dalam kalimat-kalimatnya, kentara sekali Aba ingin mengajarkan kami supaya jadi orang yang tegar dan selalu yakin pada pertolongan Allah,” tutur Farida, yang biasa disapa Ida.
Ida bersama ibunya, kakak, dan adik-adiknya, sempat dititipkan Natsir di rumah Buya Yusuf, paman HAMKA, di daerah Sungai Batang, Maninjau, Kabupaten Agam.
Sedangkan Natsir bersama Syafruddin Prawiranegara berjuang dari kawasan hutan di Limapuluh kota, di Maninjau, dan lainnya. Praktis komunikasi antara keluarganya dengan Natsir pun terputus. Mereka ipisahkan lebatnya hutan belantara. Tak heran ketika pada pertengahan juli seorang kurir datang membawa surat dari Natsir, istri dan anaknya menyambut dengan syukur dan tangis.
Tepat pada 17 juli 1958 itu Natsir berumur 50 tahun. Dalam kalimat pertama yang ditulis, Natsir dengan jenaka menyinggung hal ini.
“Ummie, Lies, Ida, Has, Abi, Auzie. Hari ini tanggal 17 juli 1958. jadi, Aba sudah genap berumur 50 tahun. Oleh karena pada hari ulang tahun ini Aba kebetulan dalam tourne, dan tidak dapat duduk bersama-sama di rumah, bersama Ummie dan anak-anak Aba semuanya, Aba tulis surat ini untuk ganti bercakap-cakap dengan Ummie, Lies, Ida, Has, Abi dan Auzie.” Sudah setengah abad umur Aba sekarang, satu masa yang panjang. Kalau Aba mengingat kepada masa panjang itu, banyak sekali yang dapat Aba ceritakan kepada anak-anak Aba yang seolah tampak berkumpul di sekeliling Aba sekarang ini.”
Kalimat demi kalimat yang mengalir kemudian, memang ditulisNatsir dari kgelapan hutan, namun kandungannya jauh ari kegelapan dan kekisruhan hati. Natsir justru bertutur bukan tentang pengorbanannya, namun soal ketulusan istrinya, Nur Nahar. Dapatlah terbaca betapa energi cinta dari istrinya menjadi salah satu penopang perjuangannya.
“separoh dari umur Aba, Aba selalu berada di samping Ummie. Jadi Ummie tahu benar apa yang Aba kerjakan, apa yang Aba perjuangkan. Juga apa yang Aba sukai, dan apa yang tidak Aba sukai, dan lain-lain. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan, bahwa dalam hal ini semua Aba dan Ummie hidup ‘berdampingan’. Sebab dari semula sampai sekarang kita, semua yang berkenaan dengan cita-cita, pendirian dan perjuangan adalah dimiliki oleh Aba dan Ummie bersama. Dalam menghadapi segala sesuatu tidak ada satupun yang Ummie tidak sama-sama mengetahui, sama-sama merasakan, sama-sama memperjuangkan, walaupun pada lahirnya, kelihatan Ummie seolah-olah diam-diam saja.
Anak-anak yang tercinta, oleh karena itu tak dapat Aba melukiskan bagaimana besarnya rasa syukur Aba kepada Allah Swt. Dan rasa terimakasih Aba kepada Ummie atas kebahagiaan hidup yang Aba telah rasakan selama separoh dari umur Aba itu, yang timbul dari kesatuan jiwa dari kami berdua.
Kalau Aba melihat sekeliling rumah tangga, tidak banyak ibu dan bapa yang telah dikaruniai Allah Swt. Dengan kebahagiaan seperti itu.Aba mendoakan mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang akan mengurniakan semua anak-anak Aba dengan kebahagiaan yang begitu pula kelak. Amien!”
Melalui surat yang lain, Ida baru mengetahui riwayat “keakraban” gelang emas ibunya dengan pegadaian. Dalam surat yang ditulis pada 15 september 1958, Natsir bercerita tentang kesulitan keuangan yang kerap menghampiri sekolah Pendis yang didirikannya,
“…Pendis seringkali menghadapi kesulitan-kesulitan yang pahit. Ummie ada mempunyai satu gelang mas (bukan pembelian Aba, sudah dipunyai Ummie sebelum Ummie berjuang bersama-sama dalam Pendis. Aba, sampai saat itu belum pernah dapat membelikan sepotong barang perhiasan untuk Ummie). Maka gelang mas Ummie yang saat itu mempunyai riwayat.
Kalau Pendis sudah kesulitan maka gelang mas Ummie berpindah tempat dari tangan Ummie ke lemari Pak Gade (istilah Natsir untuk pegadaian-Red.) kalau keadaan agak senggang sedikit ditebus kembali. Tidak berapa lama, dia pindah pula ke penginapannya yang hampir permanen di Pak Gade.
Sudah berapa kalinya Ummie membuka gelang itu dari tangannya tak ingat Aba lagi. Yang Aba masih ingat benarialah, bahwa tidak pernah air muka Ummie berobah atau mendung diwaktu-waktu Ummie terpaksa melurutkan perhiasan itu dari tangannya untuk dikirim ke tempat penyimpanannya yang terkenal itu. Tidak pernah! Begitulah Ummie! Semuanya untuk cita-cita hendak berbakti kepada Allah dan berkhidmat kepada Islam.”
Hingga Ida dewasa, kisah ini sangat berkesan dalam dirinya, “Ada ketulusan yang luar biasa,” ujar Ida.
Natsir dan Nur Nahar bertemu dalam bingkai tekad yang sama: menyebarkan pendidikan buat rakyat jelata, meski resikonya harus siap miskin. Dalam surat yang ditulis pada 9 Agustus 1958, Natsir berkisah soal kesamaan tekad mereka,
“… pada pertengahan tahun 1931 Aba masuk kursus guru itu. Tamat pertengahan tahun 1932. selama Aba dala kursus guru itu, dapatlah Aba menyusun rumusan atau rencana Pendidikan Islam mulai dari sekolah rendah S.M.P. nya, dan sekolah gurunya. Sementara kursus sore Aba jadikan Pendidikan Islam bagian Mulo. Untuk ini cukup teman-teman yang dapat turut mengajar, antara lain Ir. Ibrahim (sekarang jadi direktur Pabrik Semen Gresik), Ir. Indra Cahya, Oom fachruddin.
Yang lebih sulit ialah untuk teman mengajar di bagian H.I.S. nya dan taman kanak-kanaknya. Disinilah Ummie datang menyumbangkan tenaganya (Natsir sudah mengenal Nur Nahar ketika ia bergabung dengan Jong Islamieten Bond cabang Bandung. Ketika itu Nur Nahar menjadi anggota pengurus “Jibda” atau Yong Islamieten Bond bagian putrid-Red)
Ummie waktu itu sudah menjadi guru pada sekolah “Arjuna” yang bersubsidi pemerintah. Ummie sudah mendapat penghasilan tetap, kalau tidak salah Rp. 70; sebulan. Sebenarnya Aba tidak berani meminta Ummie supaya turut mengajar pada Pendidikan Islam sebab sekolah ini adalah termasuk, apa yang dinamakan orang, “sekolah liar”, yaitu sekolah partikulir yang tidak bersubsidi, jadi tak tentu nasibnya. Diwaktu itu sekolah-sekolah partikulir banyak yang tumbuh seperti cendawan sesudah hujan, tapi lekas bubar satu demi satu, lantaran kekurangan uang dan kekurangan guru yng cakap. Maklumlh murid-murid yang masuk sekolah partikulir itu hampir semua dari rakyat yang tidak mampu. Uang sekolah kadang-kadang masuk, kadang-kadang tidak.
Menjadi guru sekolah partikulir itu artinya tidak mempunyai penghasilan yang cukup dan tetap. Itulah makanya agak berat Aba meminta Ummie jadi guru pada Pendidikan Islam.
Akan tetapi bagi Ummie pun, rupanya soal penghasilan itu tidak menjadi penting benar. Ummie melihat dalam pendirian Pendidikan Islam ini satu cita-cita. Ummie dengan rela menyumbangkan tenaganya kepada Pendidikan Islam dan melepaskan pekerjaan yang penghasilannya lebih terjamin itu. Ummie datang mengajar di taman kanak-kanak sambil membawa dua orang murid yang pertama, yaitu Ros dan Irwan (keponakan Ummi- Red)
…Anak-anakku yang kucintai, sebagaimana telah Aba ceritakan lebih dulu, yng mendorong Aba mendirikan sekolah itu, bukanlah sekedar untuk menambah banyaknya sekolah partikulir yang tumbuh seperti jamur di waktu itu. Kalau sekedar untuk mencari nafkah, banyak jlan yang lain yang lebih baik dari pada membuka sekolah. Bukan!……
rasa-rasanya tidaklah sia-sia korban yang telah kami, Ummie dan Aba beserta teman-teman seperjuangan lainnya berikan untuk Pendis di kota Bandung itu, dalam masa 10 tahun lebih.
Agak banyak juga, anak-anakku, korban yang diberikan, walaupun tidak banyak orang luar yang mengetahuinya. Sudah Aba ceritakan bahwa yang menjadi murid Pendis, hampir semua dari keluarga yang tidak mampu. Tidak sanggup membayar uang sekolah yang besar-besar. Ada pula yang sudah diafkir oleh sekolah pemerintah lantaran malas atau bodoh, katanya. Dengan sendirinya uang sekolahnya, tidak banyak yang tetap masuk. Diantara mereka ada yang tak dapat membayar sama sekali, lantaran itu dibebaskn dari uang sekolah. Tidak sampai hti kami mengusir dri sekolah lantaran tidak mampu membayar.
Dalam pad itu maka pendidikan harus dipelihara,… Kredit buku dari J.B. Walters (salah satu penerbit buku pada saat itu- Red) harus dibayar dengan tertib, walaupun oleh murid-murid tidak teratur pembayarannya, kalau tidak J.B. Walters tidak bersedia lagi memberi kredit seterusnya. Kalau hari sudah mendekati bulan Ramadhan hati sudah kuatir. Murid-murid, kebanyakannya, tidak dapat membayar uang sekolahnya sebab perlu membeli pakaian lebaran. Tetapi para guru justru perlu benar menerima gaji yang cukup, sebab maklum bulan puasa dan hari akan lebaran.
Ditengah-tengah kesulitan semacam itulah berlangsung perkawinan Ummie dan Aba, dengan sangat sederhana (pada tanggal 20 oktober 1934-Red). Kami tinggal di satu rumah kecil dekat surau di jalan Rana.. diadkan juga walimah sedikit tapi tamu makan di atas surau di depan rumah kecil itu.
Ummie tahu bahwa jalan hidup yang Aba tempuh, sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tidak mempunyai “toekomst”, kata orang waktu itu, yakni hari depannya: wallahu a’lam! Akan tetapi Ummie rela dan berani naik perahu Aba yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh resiko!
Begitu Ummie ini anak-anakku! Sebagai teman hidup dan teman seperjuangan kami sama-sama menggulamkan gigi menghadapi bermacam kesulitan itu. Cita-cita harus dilaksanakan menjadi kenyataan.”
Demikianlah, energi cinta dari sang istri, teman hidup dan teman seperjuangan natsir, memperkuatnya menyongsong cita-cita.
=Bersambung=